Melayu Di Bangka Belitung

Istilah melayu cukup banyak ragamnya, seorang cendikiawan melayu bernama Bahanuddin Elhulaimy yang juga pernah menjadi ketua umum partai islam tanah melayu dalam bukunya asas falsafah kebangsaan melayu, terbit pertama kali pada tahun 1950, mencatat beberapa istilah kata tersebut. Ada pendapat yang mengatakan kata melayu berasal dari kata mala (yang berarti mula) yu (yang berarti negeri) seperti dinisbahkan kepada Ganggayu yang berarti negeri Gangga. Pendapat ini bisa dihubungkan dengan cerita rakyat Melayu yang paling luas dikenal, yaitu cerita si Kelambai atau sang Kelambai. dalam arti sempit yang terdapat dalam pelembagaan Malaysia yakni perkara 153 mengatakan bahwa seseorang itu dapat di katagorikan sebagai melayu apabila memiliki ciri-ciri sepert Lazimnya berbahasa melayu, Berkebudayaan melayu dan Beragama islam. namun , dikarenakan mayoritas penduduk bangka belitung adalah orang melayu, sehingga masyarakat yang minoritas juga berperilaku layaknya orang melayu selain agamanya dan ciri fisiknya yang tidak masuk ke orang melayu. namu dibangka belitung , perbedaan itu dijadikan sebuah anugrah.

PAKAIAN ADAT

Pakaian tradisional kepulauan Bangka Belitung yaitu kain cual dan baju seting. Kain cual hampir serupa dengan songket Palembang, hanya saja kain cual memiliki kekhasan motif tersendiri. Kain cual memiliki kekhasan warna melayu yang lebih cerah dan dan bermotif motif flora dan fauna.

BAHASA

Bahasa ibu (lingua franca) yang digunakan di Belitung adalah Bahasa Melayu Belitong, dengan dialek/aksen yang berbeda antara Urang Darat dan Melayu pesisir. Bahasa Belitong yang lebih tua (diduga) adalah bahasa yang dipergunakan dalam Pertunjukan Dul Mulok. Teater tradisional ini kini hanya terdapat di Desa Kembiri, Kecamatan Membalong. Suku Sawang memiliki bahasanya sendiri, yang hanya dipergunakan dalam komunitas Suku Sawang. Demikian pula etnis Tionghoa dan suku-suku lainnya, yang mengunakan bahasa mereka dalam kalangan terbatas. Dalam keseharian, Bahasa Melayu Belitong tetap merupakan penghubung dan penjalin harmoni antar suku bangsa di Belitung. Beragamnya suku yang mendiami Bangka Belitung juga membuat kepulauan ini kaya akan beragam bahasa. Namun bahasa dominan yang digunakan para penduduk adalah Bahasa Melayu. Bahasa Melayu ini merupakan bahasa daerah Bangka Belitung. Selain Bahasa Melayu, bahasa lain seperti bahasa Mandarin dan bahasa Jawa juga menjadi bahasa yang sering digunakan masyarakat .

KESENIAN TRADISIONAL

Kesenian Tradisional Belitung meliputi antara lain seni musik, seni tari, sastra tutur, dan teater rakyat. a. Betiong Merupakan musik tradisional yang menampilkan atraksi saling berbalas pantun dari para pemainnya, dengan alat musik berupa 4 buah gendang, tawak-tawak dan piul (biola). Ciri khas Betiong terletak pada pantunnya yang bersifat spontan dengan berbagai makna, mulai dari percintaan hingga sindiran untuk tuan rumah. Jika salah satu pemain tidak dapat membalas pantun dari lawan mainnya, maka pemain tersebut dinyatakan kalah.[7] b. Begambus Begambus biasanya ditampilkan dalam berbagai acara kesenian rakyat dan selamatan di Belitung. Kesenian ini sangat bernuansa Islami, di mana syair-syair berisi petuah dinyanyikan seiring alunan dambus. Dambus adalah alat musik tradisional sejenis gitar, yang dapat dimainkan sendiri maupun dipadukan dengan alat musik lain seperti gendang dan tawak-tawak. Dambus yang dimainkan tanpa disertai alat musik lain disebut Dambus Inang-inang, biasanya melantunkan syair-syair kesedihan.

Alat musik tradisional dambus mengandung nilai-nilai tertentu, antara lain: i. Nilai seni tampak jelas dari keberadaan dambus sendiri sebagai alat musik dijadikan sebagai media hiburan dan pengiring upacara adat serta bentuk dambus yang indah. Selain itu, ornamen kepala kijang pada dambus juga mencerminkan nilai seni dikarenakan kijang merupakan binatang yang dianggap jinak dan indah hingga dijadikan simbol kota Pangkal Pinang. ii. Nilai kebersamaan tampak dari kebersamaan masyarakat ketika mengikuti upacara adat sambil diiringi musik dambus. Alunan dambus menjadikan masyarakat khusyuk mengikuti upacara dan ketika mendengarkan mantera-mantera yang dinyanyikan. Apalagi ketika masyarakat bersama-sama membaca doa di mana suasana menjadi terasa syahdu. Kebersamaan ini menjadikan dambus tidak hanya dijadikan sebagai alat musik semata, melainkan juga sebagai media pemersatu masyarakat. iii. Nilai sakral. Nilai ini terlihat dari fungsi dambus sebagai salah satu alat musik yang digunakan untuk mengiringi upacara adat dalam membaca doa-doa sakral